Rabu, 05 Juni 2013

Kisah Dua Gelas



Aku sebuah gelas yang mewah dengan ukiran motif yang elegan.
Orang-orang yang ingin memilikiku harus rela menukarku dengan nominal uang yang cukup besar.

Betapa senangnya menjadi sepertiku, yah itulah pikiran yang terlintas saat itu.
Sampai suatu saat aku dibawa oleh seorang wanita cantik yang terkenal.
Kemudian ia meletakkanku di dalam sebuah bufet kaca yang indah, aku berpikir itu adalah tempat terindah dan layak untuk gelas sepertiku.

Aku berada di istanaku -begitu aku menyebut bufet kaca itu- selama beberapa tahun.
Tahun-tahun pertama aku merasa bagaikan berada di atas angin, setiap rekanan bisnis maupun kerabat-kerabat dekat sang wanita yang datang berkunjung selalu memujiku.

Tahun berikutnya mulai terasa membosankan. Aku sering melihat gelas-gelas lain –yang menurutku tidak seindah aku- dipakai untuk mejamu tamu. Mereka diisi dengan berbagai jenis minuman yang panas maupun dingin. Aku berpikir untuk tidak mau seperti mereka, pasti tubuhku akan rusak, aku akan bahagia selamanya berada di sini.

Dan di tahun-tahun berikutnya aku benar-benar merasa ada yang kurang.
Aku merasa kosong, aku tidak lagi gembira ketika mendapat pujian dan tatapan kagum. Aku juga tidak tahu mengapa aku merasa demikian.

Sampai suatu saat ada seseorang yang mengeluarkan aku dari istanaku, dia membawaku ke sebuah tempat yang akhirnya aku ketahui adalah dapur. Kemudian aku diletakkan di atas meja makan dan aku dikejutkan ketika aku menoleh untuk melihat sekeliling oleh sebuah gelas lain di sebelahku.

Aku melihat ngeri padanya, bagaimana tidak, tubuhnya penuh dengan goresan dan warna yang memudar. Dengan hati-hati aku bertanya padanya mengenai kondisinya. Dan ia menjawab dengan lembut.

"Nak, dulu aku sepertimu, yah tentunya tidak seindah dirimu" ia tersenyum lalu melanjutkan ceritanya. "Aku hanya gelas biasa dengan ukiran sederhana yang dipajang di bagian belakang toko yang menjualku. Aku merasa sedih dan mengeluh pada penciptaku kenapa ia membuat diriku hanya seperti ini, dan aku menganggap diriku hanya sebuah karya yang gagal karena tidak ada yang mau memilihku".

"Sampai suatu hari sang wanita pemilik kita ini, menggenggamku dan membawaku dengan senyuman di wajahnya. Saat itu aku merasa semua pemikiranku salah. Betapa gembiranya aku, dan aku berpikir bahwa wanita ini akan menjadikanku hiasan di rumahnya. Namun, kenyataan membuat aku kecewa, aku tidak diletakkan di dalam buffet kaca tempatmu berada dan malahan dimasukkan ke dalam ruangan kerjanya"

"Kau tahu nak, terkadang aku merasa sakit ketika air panas mengisi tubuhku. Aku menggigil ketika bongkahan es batu menimpaku. Aku harus mencium berbagai aroma minuman seperti teh, kopi, dan masih banyak lagi yang bercampur aduk membuatku mual"

"Bahkan aku hampir histeris ketika menemukan tubuhku penuh dengan noda-noda yang tidak dapat hilang meskipun sudah digosok berkali-kali –dan saat dibersihkan itu menjadi saat menyakitkan bagiku, itulah saat dimana tubuhku harus bersentuhan dengan alat pembersih yang terkadang tajam, entah manusia membuatnya dari apa-"

Lalu ia melanjutkan, sementara pikiranku perlahan-lahan dibuka dengan hal-hal baru.

"Sering aku merasa kesepian nak, setelah dibersihkan aku diletakkan kembali di tempatku –di atas meja kerja sang wanita- yang setiap hari pula aku tinggal di dalam gelapnya ruangan itu. Aku merasa iri dengan gelas-gelas sepertimu yang tidak harus mengalami semua ini"

"Tahun awal begitu menyiksa tetapi seiring waktu berlalu aku terbiasa dengan semuanya, bahkan aku menemukan sebuah hal yang tidak akan pernah aku sesali yaitu rasa puas dan sukacita yang besar ketika sang wanita dapat menikmati minumannya melalui aku –gelas yang sederhana ini- dan di saat itu aku ingin sekali mengucapkan terima kasih pada penciptaku karena telah menghasilkan karya yang tidak gagal dan berhasil memenuhi tujuan penciptaku"

Ketika ia mengakhiri kalimatnya, aku menangis sejadi-jadinya. Menangis karena sadar betapa sombongnya aku. Menangis karena menemukan alasan mengapa aku merasa hampa, dan menyadari sesungguhnya aku diciptakan bukan sebagai gelas hiasan melainkan gelas biasa –hanya dengan ukiran yang indah- yang dilengkapi dengan tujuan dari mulanya untuk membantu manusia memuaskan dahaganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa itu kebahagiaan?

Bagi orang miskin, uang itulah kebahagiaan. Bagi orang sakit, kesehatan itulah kebahagiaan Bagi pemuda lajang, pasangan hidup itulah keb...